27 April, 2008

Mengajar = nilai UASBN ?

Apakah relevan dianggap bahwa mengajar baik akan menghasilkan UASBN baik..? Sulit, seharusnya memang tidak bisa dianggap seperti itu.. tapi yang dipikirkan orang tua siswa... ketika anak mereka mendapatkan nilai jelek sedangkan butuh nilai baik untuk bisa masuk negeri ? atau mungkin malah tidak lulus.
Mendidik masyarakat untuk menerima keadaan yang sebenarnya masih sulit tapi sekarang ini harus dimulai. Kearin dan hai ini termuat berita Guru dan kepala sekolah bekerja sama mengganti jawaban para siswa.. mental apakah yang dimiliki para guru kita ini ?!? MAri donk kita bangun pendidikan di negeri ini dengan baik dan eratur sesuai aturan yang berlaku.

15 April, 2008

Bahan Renungan Orang tua

Cerita dari orang tua di sebuah kota di Indonesia....

Tahun yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu
itu Saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang
Duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu
murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya
untuk melamun.

Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap
seperti apa ?" tanya saya

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah
untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan
soal demi soal dalam hitungan menit.

Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh
keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan
rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk
aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti,
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.
Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak
lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok
pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah
Yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh
sebab Itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar
Dika kembali Ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu
menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian.
Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya
Psikolog Itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah
satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika.
Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang
jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri,
melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar
saja" Dengan beberapa
pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama
ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas.
Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan
edukatif sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya
menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain
basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game
di computer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya,
Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela
waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar
telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar
sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang
begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana :
diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa
kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas
bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira
artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku
melakukan sesuatu" Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap
bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk
melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa
saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika
ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya
sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV
secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur
tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru
sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya
yang suka bekerja
keras,disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya
inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.
Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.
Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak
sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah
orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain.
Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah
dosa" Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu
bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat
kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa
setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka
anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui
kesalahan
yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena
orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga
tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau
menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi
kesempatan Untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari
kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa
menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak
membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang
....." Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting
saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk
membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan
pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.
Namun ternyata
hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu
yang penting untuk anak saya.

Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa
kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan
Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku
mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak
hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak
luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu
ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu
meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
kepadanya.

Ketika Psikolog
menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap
hari........ " Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya
dengan lancar " Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat
seperti ia mencium dan memeluk adikku" Memang adakalanya saya
berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi
dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan
hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali
oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau
pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap
hari....."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu
kata
"tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa
perlu menahan senyumannya demi mempertahankan
wibawanya. Padahal
kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan
melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi
bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat
dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku. ..." Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku
dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia
lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu
Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu
memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa
diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari
kata "Tole". Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar
wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan
masyarakat Jawa.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku .."Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo"
karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling"
kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan
"To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" sebuah
seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah
Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar
hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak
hormat dan
bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah
polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga
kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun
anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang
tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat Tuhan.

Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2008,
Saya ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu
berpikir,bersikap dan melakukan hal-hal yang dikehendaki Tuhan.

Sumber: Ditulis oleh Lesminingtyas

05 April, 2008

Guru mulai resah

belakangan ini muncul berita bahwa semua fasilitas yang diberikan untuk para guru baik incentive, fungsional, akan dicabt apabila pemerintahan berganti pimpinan.... itulah opini dari para pendidik yang seengah gelisah, bagaimana tidak... gaji guru bantu selama 3 bulan belum terbayar.... tidak ada pemberitahuan ataupun surat dari pemerintah... walau sudah dijawab bahwa mungki masih ada proses dikarenakan banyak guru bantu yang diangkat PNS sehingga unuk mengurangi kesalahan pengiriman uang maka di data ulang.